Apakah mereka yang seniat dan sesemangat itu dalam berislam tetap tidak bisa dianggap sebagai muslim?

By: YHQ

Sebenarnya pemikiran ganjal ini sudah kurasakan semenjak 2016. Awalnya ter-trigger oleh seringnya aku mendengarkan banyak kajian-kajian dari Ustad Adi Hidayat dan Abdul Somad. Saat itu aku mengamati banyak sekali antusiasme orang-orang dalam mengkaji dan belajar islam. Kemudian pertanyaan sederhana muncul di pikiranku: “Apakah mereka yang seniat dan sesemangat itu dalam berislam tetap tidak bisa dianggap sebagai muslim?”

Dari pertanyaan tersebut, banyak hal-hal yang jadi bahan perenunganku:

  1. Keluarnya pertanyaan bahwa secara tidak langsung menunjukkan pola pikir yang kumiliki adalah “mengklasifikasikan orang”.
  2. Walaupun aku tidak berniat mengklasifikasikan orang, tapi dengan adanya motivasi ingin berdakwah sampai bisa membaiat orang supaya dia masuk Islam (lembaga), tetap saja ini adalah bentuk halus dari pengklasifikasian orang yang sudah jelas-jelas memang Islam.
  3. Ada sebuah perasaan tidak bisa menerima saat melihat semangat berislamnya orang-orang tersebut tetap tidak ternilai, karena dianggap belum Islam karena mereka “belum masuk lembaga”
  4. Jika memang syarat mutlak berislam ialah dengan bergabung dalam lembaga, aku bisa menyimpulkan secara singkat jika Ustadz Adi Hidayat dan Asatidz lainnya bukanlah Islam. Padahal mereka adalah orang yang benar-benar memiliki kapasitas dalam keilmuan Islam.

Saat itu aku masih menjadi murabbi di sebuah kelompok. Namun, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang kupendam. Namun pada akhirnya aku mengambil sikap untuk mengkomunikasikan apa-apa yang menjadi ganjalan selama ini kepada pemimpin terdekatku saat itu. Namun jawaban yang kudapatkan kurang menjawab. Sehingga apa yang kulakukan ialah sebatas terdiam.

Hingga September 2017, Allah memperjalankan untuk mencoba belajar di harakah lain dan terlibat cukup aktif di sana. Dari sini aku makin yakin bahwa mereka pun sebenarnya muslim. Hanya cara yang ditempuh berbeda dengan lembaga. Dari sini, semakin aku belajar di luar lembaga, semakin aku menghargai perbedaan. Dan ternyata, di waktu yang tidak jauh berbeda, toleransi atas perbedaan ini digaungkan pula oleh banyak asatidz seperti Ust Felix Siaw, Oemar Mita, Hanan Attaki, dan lainnya. Aku makin yakin bahwa apapun harakahnya, mereka tetaplah Islam. Dan Allah pasti menilai usaha-usaha mereka dengan parameter yang manusia tidak pernah bisa menduganya. Lalu mengapa lembaga masih mengklaim bahwa pemahamannya ialah yang paling benar? Bukankah seharusnya lebih baik melakukan pergerakan secara sinergis satu sama lain? Bukan lagi mengekslusifkan diri karena menganggap kita adalah yang paling benar.

Saat itu aku merasa sendiri, karena aku tidak tahu harus berdiskusi dengan siapa. Akhirnya aku mencoba menghubungi seorang ikhwah dan meminta pendapat dan sharing terkait pemahaman saat ini.

Lalu aku mencoba mengkomunikasikan kembali pemahamanku dengan baik-baik, dan berujung pada dihadapkannya aku dengan salah satu pemimpin ikhwan. Tapi karena pemahamanku ini lebih kepada “apa yang kurasakan”, bukan membawa argumentasi ilmiah (berdasarkan hadist atau pendapat ulama), jadi terkesan kurang valid. Sehingga pertemuan saat itu aku lebih banyak diam dan menerima argumentasi orang tersebut. Yang sebenarnya masih tetap tidak bisa kuterima.


Baca Juga:



Support Da’wah dan Kontak Kami di:

Exit mobile version