“Aku ketemu sama dia, sekarang udah berani pakai celana.”
“Iya, kan? Sejak “keluar”, dia jadi beda.”
“Berani deket sama cowok, lagi.”
“Iya. Kerudungnya juga udah nggak panjang lagi.”
Dua perempuan yang termasuk senior di kelompok ngajiku ngobrol dengan suara keras. Membicarakan Teteh A, yang dikabarkan membatalkan baiatnya dan keluar dari lembaga NII. Kami, para “junior” pura-pura tidak dengar. Padahal obrolan itu terjadi di sebuah kamar kos-kosan sempit, yang hampir tidak bisa menampung kami yang berjumlah hampir sepuluh orang.
Pembicaraan-pembicaraan “rahasia” tapi dibicarakan keras-keras itu tidak satu-dua kali terjadi. Yang paling sering, membicarakan rahasia para “mad’u”, atau orang-orang yang sedang digiring untuk mau berbaiat pada lembaga. Apa yang para mad’u ceritakan -percayakan kepada “da’i”-nya, diperbincangkan dengan begitu bebasnya. Dengan dalih, “sedang menyusun strategi dakwah terhadap si anu, si fulanah, dan lain-lain.”
Pernah terbersit perasaan bersalah, karena membagikan rahasia orang dengan begitu mudahnya pada “saudari” di lembaga. Tapi perasaan bersalah itu segera lenyap, berganti dengan sensasi heroik karena “memikirkan” masalah hidup orang lain.
Ada pula ritual tak masuk akal yang disebut dengan “jauka”, atau “konsul”, atau pengakuan dosa. Di mana para anggota diwajibkan mengakui dosa-dosanya -dari yang kecil, sampai dosa terjorok sekalipun- pada pimpinan terdekat, atau ikhwan yang ditugaskan. Jika tidak mau rutin melaporkan dosa, maka status kami adalah “munafik”, begitu doktrin mereka. Dosa-dosa anggota dicatat, lalu “dimohonkan ampun”, dengan tanpa jaminan akankah dosa kami betul-betul diampuni Allah atau tidak. Yang pasti, jika tidak mau mengakui dosa, maka statusnya berdosa pula.
Jadilah “rahasia-rahasia” ini bercampur baur, dibisikkan dari yang satu ke yang lain, atas nama strategi dakwah. Baik “dakwah” alias upaya rekrut pada orang luar lembaga, maupun sesama anggota lembaga. Rahasia-rahasia paling licin, paling memalukan, berpindah tangan begitu saja tanpa bisa dikendalikan.
Beberapa hari setelah sesi pengakuan dosaku. Pembinaan rutin mingguan dimulai. Materinya… mengapakah begitu erat kaitannya dengan dosa spesifik yang telah kulakukan? Kurasakan mulut dan tenggorokanku mengering. Lidahku tercekat. Teteh Murabbi ini… sudah tahukah tentang aibku? Selain dia, siapa lagi yang tahu??
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu menyiksa hingga mengganggu mentalku. Aku tersungkur pada jurang depresi. Tidak lagi kupandang surga sebagai tempat tinggal terakhir. “Aku akan berakhir sebagai kerak neraka,” pikirku. Pada setiap sesi pembinaan yang kudatangi, kutumpahkan air mata. Aku malu. Aku tidak pantas.
Aku ingin keluar saja.
Waktu itu, keinginan untuk keluar lembaga muncul karena rasa putus asa. AKu tidak bisa mengendalikan pada siapa saja aibku dibicarakan. Diobral layaknya barang murahan di balik punggungku. Kuutarakan keinginanku itu pada pimpinan terdekat. Reaksinya dingin, sedingin ubin masjid yang kududuki kala sesi pengakuan dosaku saat itu.
“Oh, mau keluar. Bisa dijelaskan kenapanya?”
Aku bicara ini dan itu. Yang sebenarnya maksudnya adalah aku ingin dihibur, dirangkul, diyakinkan bahwa aku baik-baik saja dan mereka masih menerimaku kapan saja. Tapi teteh itu begitu dingin. Dan datar.
“Kamu kan sudah terbilang dewasa, ya. Sudah cukup lama ada di lembaga ini. Pasti tahu yang terbaik buat kamu.”
Aku terdiam. Dalam hati aku mengibarkan bendera putih. Sudahlah. Aku tidak akan lagi menggeliat memberontak. Lebih baik menurut saja. Terbayang mulut-mulut manis bercerita pada satu sama lain dengan penuh gairah. “Hei, ini mah untuk “pelajaran” aja, ya. Tahu tidak. Si Stevie melakukan ini dan itu.”
Aku bergidik, dan bersumpah tidak akan meninggalkan lembaga itu. Sumpah yang kulanggar bertahan-tahun kemudian karena menyadari kebobrokan lembaga di sana-sini.
Tahun berlalu. Aku kini sudah menikah dan memiliki seorang anak. Baby blues dan depresi pasca-melahirkan kuhadapi sendiri. Sahabat-sahabatku yang mengaku “saudara sebenar-benarnya saudara” mulai menghilang dari layar kehidupanku. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Aku yang mengalami mental breakdown sendiri di rumah pun mulai memikirkan banyak hal. Ditambah desakan suami yang mempertanyakan absurditas doktrin lembaga terus-menerus, membuat kepalaku hampir pecah.
“Kenapa wahyu dianggap belum turun sepenuhnya?”
“Kenapa orang yang keluar dari lembaga dianggap kafir?”
“Kenapa tidak ada catatan sejarah yang jelas, yang bisa diberikan lembaga pada anggotanya?”
“Kenapa banyak rahasia dan hal-hal yang disembunyikan?”
Lambat laun otakku mulai bekerja. Ada kepanikan yang merayap dan memakanku pelan-pelan. “Aku harus segera memberitahu sahabatku. Ini bahaya!”
Dan, endingnya bisa kita tebak. Mbak “sahabat” ini menjauh, meracau kata-kata seperti, “jangan terlalu mengilahkan manusia”, “kita harus berbaik sangka pada pimpinan”, “lembaga tahu yang terbaik untuk kita”, dan lain-lain. Sakitnya hatiku mengetahui sahabatku sendiri layaknya radio rusak, yang mengulang-ulang doktrin yang disampaikan murabbi di setiap pembinaan mingguan. Dia sendiri sudah berstatus murabbi. Yah, itu menjelaskan semuanya.
Apa yang kualami sebenarnya jauh lebih ringan jika dibandingkan teteh-teteh yang lain. Ada yang diasingkan bertahun-tahun. Difitnah, diawasi. Dicemarkan nama baiknya. Intinya, semua janji manis tentang persaudaraan dan persahabatan hilang bagai api yang disiram air. Padahal banyak juga mereka yang terjerat masuk dan mau dibaiat, karena indahnya persahabatan.
Belakangan kuketahui bahwa lembaga tengah menggodok “strategi psikologis” yang ingin mereka terapkan pada anggota yang masih ada di dalam. Entah strategi macam apa, yang pasti strategi tersebut untuk melancarkan program utama mereka; rekrutmen dan penghimpunan dana infak.
Hal penting yang kusadari dari pengalaman ini, berhati-hatilah mempercayakan kisah hidup kita. Karena di dalam kisah itu, ada borok-borok suram yang harusnya kita jaga dan lindungi dari mata-telinga orang lain. Bahkan, meski pada seorang teteh berkerudung lebar dan tersenyum manis, atau sesosok akang berdahi hitam dan bercelana cingkrang. Lebih baik tabir itu kita tutup rapat. Percayakan pada Allah saja.
Baca Juga: Persahabatan yang Bertepuk Sebelah Tangan (Part 1)
Baca Juga: Rasul Utusan Tetangga
Support Da’wah dan Kontak Kami di: