Apapun dilakukan agar program berjalan sukses

Berikut ini kisah taaruf yang dilakukan oleh – sebut saja – Ainun. Calon lelakinya kita sebut saja Rama.

Taaruf tanpa pihak ketiga

Pada awal taaruf, Ainun dan Rama melakukannya berdua saja tanpa pemantauan, karena alasan keamanan. Ainun dan Rama mengobrol langsung tanpa ditemani pihak ketiga. Dan tidak ada di antara Ainun, Rama dan tahkim yang menyadari kesalahan ini.

Padahal, bukankah jika akhwat dan ikhwan berduaan, maka yang ketiga adalah setan? Seharusnya diikhtiarkan menggunakan telegram atau aplikasi lain yang bisa
menjamin keamanan. Setelah diingatkan berkali-kali, akhirnya mereka menggunakan aplikasi telegram.

Menikah karena kesamaan profesi

Berdasarkan penuturan Ainun, mereka dinikahkan karena kesamaan profesi yang diharapkan dapat membantu Islam. Namun tujuan dipasangkannya tidak diketahui dengan jelas. Ainun dikatakan diprogramkan, namun tidak tahu tujuan programnya apa, sehingga Ainun dengan terpaksa dan tanpa pemahaman menerima penjodohan tersebut. Ainun tidak menyadari bahwa seharusnya dia memiliki kemerdekaan memilih saat ditaarufkan.

Padahal, jika ingin menikahkan karena Allah, perjodohan dilakukan murni hanya karena keislaman, bukan karena kesamaan profesi dan hal duniawi lainnya. Seharusnya dipasangkan untuk menjalankan Islam, untuk da’wah. Jika dinikahkan karena faktor duniawi, maka pernikahan yang dilakukan bukanlah pernikahan di Jalan Allah.

Ikhwan diberi yang cantik agar mampu menahan diri

Berdasarkan penuturan tahkim, Ainun dianggap memiliki kemampuan sebagai “pembatas” bagi Rama. Berarti, salah satu faktor pertimbangan mengapa Ainun dan Rama dinikahkan adalah karena fisik. Terkesan bahwa Rama tidak mampu menahan diri dari kecantikan wanita. ..

Taaruf diatur sedemikian rupa agar diterima keluarga

Rama dijodohkan dengan Ainun yang sama profesinya agar diterima oleh keluarga. Hampir seluruh keluarga Rama berprofesi sama, maka dipilihlah Ainun yang juga berprofesi sama dengan keluarganya agar diterima.

Selain itu, Ainun sengaja ditaarufkan sekitar 8 bulan sebelum Rama lulus internship, agar Ainun dapat diterima oleh keluarga Rama yang mensyaratkan harus kenal lama yaitu minimal 6 bulan. Ainun mulai ditaarufkan bulan Agustus, namun Ainun dan Rama baru akan menikah di bulan April di tahun berikutnya, karena Rama baru lulus internship bulan Februari di tahun berikutnya. Pihak keluarga harus menunggu lama sampai Rama lulus dulu. Bahkan dikatakan oleh tahkim, bahwa tidak apa-apa akad dalam dilakukan jauh sebelum akad luar dilakukan.

Komitmen yang Lemah terhadap syariat, apapun dilakukan agar program berjalan dengan sukses

Setelah Rama berkenalan dengan keluarga Ainun, Rama diminta oleh ayah Ainun untuk rutin datang setiap minggu ke rumah keluarga Ainun, dan Rama mengiyakan begitu saja. Keluarga Ainun yang belum paham Islam meminta seperti itu agar Rama terbiasa “ngapel” Ainun.


Baca juga:

Kamu Gendut Maka Kamu Belum Siap Nikah

Apakah mereka yang sesemangat itu dalam berislam tidak bisa dianggap muslim?

Sholat Tidak Penting, yang Penting Infaq


Padahal, bukankah itu tidak perlu dilakukan? Bukankah bertemu tiap minggu itu seperti pacaran saja? Bukankah kita harus berpegang teguh untuk menjaga diri dari kontak yang belum halal?

Selain itu, Ainun pernah mengikuti acara keluarga Rama sampai malam sekali, yaitu pukul 23:30. Mereka mengatakan agar Ainun dapat merebut hati keluarga Rama.

Bukankah pulang malam sampai hampir tengah malam karena mengunjungi keluarga yang belum mahromnya, adalah hal yang tercela?

Selain itu pula, Ainun dan Rama sempat berjalan-jalan bersama, ditemani oleh Ibu Ainun untuk menengok gedung, membeli cincin, dan memesan catering bersama.

Padahal, bukankah menengok gedung, membeli cincin dan memesan catering itu tidak perlu berjalan bersama? Bukankah kader yang sudah terbina dengan Islam, seharusnya berusaha keras menjaga diri, sehingga bagaimanapun arus keluarga, kader tetap berpegang teguh terhadap prinsip2 Islam?

Tidak ada di antara mereka yang faham bahwa hal-hal tersebut melampaui batas. Mungkin faham, namun kurang kuat sehingga terbawa arus keluarga. Sehingga harus diingatkan berkali-kali sampai benar-benar sadar. Pihak tahkim atau pimpinan yang seharusnya lebih membatasi mereka, malah membiarkan mereka melakukan hal-hal seperti itu. Jika tujuannya hanya dikenalkan sampai keluarga besar, tidak perlu lama-lama sampai pulang malam, karena dalam taaruf cukup di keluarga inti saja.

Sibuk merebut hati keluarga calon suami, namun memaki-maki kakak sendiri.

Kisah ini diperoleh dari penuturan kakak Ainun, yaitu Najwa. Najwa berusaha dengan keras mengingatkan Ainun dan Rama, dari mulai berkomunikasi yang seharusnya terawasi dan terbimbing di telegram, mengingatkan agar taaruf tidak dilakukan terlalu lama, termasuk mengingatkan agar Ainun tidak sibuk-sibuk mendekati Rama dan keluarganya sampai melanggar batas-batas syariat (mengiyakan ngapel, pulang malam, membeli cincin bersama, dan lain-lain).

Dalam proses mengingatkan tersebut, Ainun seringkali tidak menerima masukan dari Najwa. Najwa dianggap merusak keberjalanan program munakahat mereka. Tidak jarang keluar kata-kata yang menyakitkan dari lisan Ainun kepada Najwa. Tidak ada rasa sayang, tidak ada rasa ingin memuliakan, tidak ada keinginan untuk mendengar — baik kepada seorang kakak, maupun kepada saudara mu’min satu perjuangan.

—–

Dari kisah ini, terkesan bahwa bagaimana program taaruf berjalan, itu didasarkan atas keinginan pihak eksternal terlebih dahulu agar program berjalan sukses, dan perintah Allah dikesampingkan. Bukan syariat Allah-lah yang dijadikan prioritas.

Lalu, apakah program seperti ini pantas disebut program Allah?


Support Da’wah dan Kontak Kami di:


Support Da’wah dan Kontak Kami di:

Exit mobile version