Pada masa 70-an, bagi DI (Darul Islam) saat itu, berbagai kebijakan pemerintah RI tidak ada urusan dengan umat Islam, karena seluruh masyarakat di luar Jama’ah Darul Islam dianggap sebagai masyarakat jahiliyah. Namun situasi ini berubah ketika kendali organisasi diambilalih oleh para kader DI di Yogya dan Solo. Mereka menjadi amat peduli dengan nasib umat Islam.
Perubahan sikap ini tak bisa dilepaskan dari adanya revisi terhadap paham takfir di kalangan DI di sana. Revisi ini terjadi pada awal 80-an, di mana paham takfir ini dikoreksi setelah mereka berdiskusi dengan para aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) yang sedang mengajar di LPBA (Lembaga Pendidikan Bahasa Arab, sekarang LIPIA), dan membaca berbagai buku karya para ulama IM. Mereka menyadari, bahwa Jama’ah Darul Islam tak lagi sama dengan negara Islam karena saat itu DI sudah tak punya wilayah. Oleh karena itu orang yang tidak bergabung dengan DI tidak bisa dikafirkan. Orang-orang DI di Solo dan Yogyakarta membatasi pengkafiran hanya kepada pemerintah dan aparat-aparatnya. Hanya pejabat pemerintah Indonesia yang dihukumi kafir dan munafik oleh mereka.1
Koreksi ini melahirkan pandangan baru terhadap umat, mereka tak lagi menganggap umat Islam di Indonesia sebagai masyarakat jahiliyah yang kafir, tapi korban kejahatan pemerintahan murtad yang anti-Islam.2
Jadi, mengapa lembaga Neo-NII saat ini lembam terhadap perubahan dan revisi pemahaman? Seperti praktek syahadat itu harus dipertahankan saja dan orang luar Neo-NII selalu kafir saja.
REFERENSI:
1 Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, “Surat Dakwaan Sahroni alias Amat Hikmat bin Abbas”, Jakarta, Agustus 1987, seperti yang dikutip oleh Solahudin, di “NII sampai JI”, hlm. 161.
2 Ibid.
BACA JUGA:
- Apakah Keislaman Seseorang dapat batal karena Kefasiqan?
- Khawarij dan Muta’zilah
- Tegas dan Tidak Perlu Takut Berubah
Mengapa Neo-NII bukanlah Jama’ah Muslim, apalagi Jama’ah yang Haq
Support Da’wah dan Kontak Kami di: