Mengapa Neo-NII bukanlah jama’ah Islam, apalagi Jama’ah yang Haq!
Bai’at dalam hadits, yang jika terlepas maka terlepas dari Islam adalah bai’at kepada pemerintahan Islam yang sah ketika telah tegak. Begitu pula keluar dari jama’ah dalam hadits adalah keluar dari Jama’atul Muslimin ketika telah tegak, bukan keluar dari jama’atu minal muslimin atau kelompok-kelompok dalam tubuh umat Islam. Sehingga, bai’at yang dilakukan oleh Neo-NII adalah bai’at kelompok, bukan bai’at kepada pemerintahan Islam.
Selain itu, berikut ini adalah bukti-bukti mengapa kelompok Neo-NII bukanlah jama’ah yang haq.
Neo-NII menerapkan syahadat sebagai gerbang rekrut anggota.
Praktek syahadat adalah salah satu praktek yang paling fatal parahnya di dalam tubuh NNII. Walaupun NNII tidak mengakui paham takfir, namun terbukti dalam implementasi fiqih dan muamalah mereka, mereka tidak mengakui kemusliman orang muslim umum di luar kelompok mereka. Contohnya adalah anggota NNII tidak boleh menikah dengan selain anggota NNII, penyaluran ZIS tidak boleh disalurkan ke luar kelompok, masjid di luar kelompok dianggap sebagai masjid dhirar, menganggap ulama selain mereka adalah ahli kitab, dan lainnya. Tidak mungkin jama’ah yang haq seperti ini.
Terdapat banyak penyimpangan aqidah di tubuh NNII.
Rasul terakhir adalah Rasulullah Muhammad ﷺ, namun NNII menamakan sebagai lembaga kerasulan dan menganggap bahwa kerasulan belum berhenti. Kesalahan definisi ini sangat fatal sampai mereka menganggap pimpinan lembaga dapat mengetahui status surga-neraka dan qodo-qodar umat layaknya Rasulullah ﷺ. NNII juga menganggap jika mengadukan dosa kepada pimpinan dan pimpinan memohon ampunan, maka Allah PASTI mengampuni dosa mereka. Hari kiamat ditafsirkan sebagai hari tegaknya Islam. Anggota NNII juga mendefinisikan aqidah dan iman adalah aqidah dan iman kepada lembaga NNII, bukan kepada Allah dan RasulNya. Sehingga orang di luar lembaga NNII dianggap tidak beraqidah.
Banyak pula penyimpangan syariat di tubuh NNII.
Menganggap bahwa sholat itu ada dua definisi yaitu sholat haroki dan sholat ritual. Anggota NNII diperbolehkan untuk menjamqos sholat dengan kriteria masing-masing. Syariat qurban yang tidak boleh diuangkan, diperintahkan untuk diuangkan oleh NNII. Masjid luar dianggap masjid dhirar sehingga para ikhwan tidak sholat berjama’ah di masjid. Ibu Hamil dan menyusui wajib fidyah. Halal mengambil harta orang lain di luar kelompok mereka karena mereka menganggap itu fa’i atau ghonimah. Haji belum diwajibkan karena haji adalah konferensi internasional. Praktek syariat ini seluruhnya salah. Hampir seluruh syariat diselewengkan oleh NNII. Ini sudah menjadi bukti jelas bahwa Neo-NII tidak punya komitmen dalam penegakan syariat sesuai Al Quran dan As Sunnah.
Ketidakjelasan estafeta kepemimpinan.
Sejak tahun 1962, orangtua turun gunung dan bercampur baur kembali ke pihak republik Indonesia. Sekitar tahun 1970, beberapa orangtua ingin menghidupkan kembali perjuangan menegakkan negara Islam. Namun sayangnya, setiap usaha konsolidasi ini selalu didampingi oleh BAKIN. 1 Sehingga kelompok-kelompok yang dibentuk orangtua lembaga ini dimanfaatkan rezim orde baru untuk menahan pengaruh komunisme2. Selain itu, dalam perjalanannya, NII terpecah menjadi 38 faksi3 di mana masing-masing mengklaim sebagai penerus estafeta kepemimpinan. Sulit untuk menelusuri siapa yang sebenarnya berhak meneruskan estafeta kepemimpinan karena setiap orang tua pun terpecah dan berbeda pendapat mengenai apa wasiat sebenarnya Imam SMK sebelum meninggal4.
Karena menelusuri estafeta kepemimpinan ini sangat sulit, maka prinsip “tidak perlu lihat imamnya, cukup lihat bacaan sholat dan gerakan sholatnya” dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah jaringan NNII yang rekan-rekan ikuti itu benar atau salah. Coba lihat, apakah pemahaman yang diajarkannya sesuai Al Quran dan As Sunnah kah, disetujui oleh jumhur ulama kah? Apakah banyak syariat Islam yang dilalaikan dengan alasan wahyu belum turun, padahal syariat sudah turun sempurna? Jika rekan sudah melihat penyimpangan aqidah dan syariahnya saja sudah begitu banyak, maka cukup mudah menyimpulkan bahwa jaringan yang rekan ikuti bukanlah jaringan yang pantas mengaku sebagai jama’ah islam, apalagi Jama’atul Muslimin.
Wallahu a’lam.
REFERENSI
1 Solahudin, “NII sampai JI”, halaman 81-118.
2 Ahmad Sarwat, “Penyimpangan Fiqih NII”, https://www.youtube.com/watch?v=rcWiZ02Ul4k
3 Al Chaidar, “Perpecahan dan Integrasi: Perkembangan Gerakan Darul Islam di Indonesia dan Jaringannya di Asia Tenggara, 1962-2006”.
4 Berdasarkan wawancara penulis pada Mataharitimoer, alumni pejabat NII 1988-1998.
Support Da’wah dan Kontak Kami di:
5 Comments