Apakah Ada Periodisasi dalam Pelaksanaan Wahyu?
Menurut NNII, perjuangan menegakkan kedaulatan itu berproses dimulai dari wahyu pertama yaitu iqro (QS 96:1) dan diakhiri dengan wahyu terakhir yaitu alyauma (QS 5:3). Kedaulatan Allah diwujudkan berangsur-angsur sesuai turunnya ayat Al Qur’an. Negara lembaga kerasulan diwujudkan dalam dua tahap, yaitu periode mekah dan periode madinah. Hukum-hukum islam baru ditegakkan di Madinah sebab ayat-ayat hukum baru diturunkan dan baru berlaku di Madinah. Peristiwa futuh Mekah, yaitu jatuhnya Mekah dari tangan Jahiliyah kepada kaum Muslimin, membuktikan bahwa negara Madinah sanggup mengalahkan negara yang berdasarkan akal dan nafsu manusia.1
Ayat-ayat yang menjadi dasar penerapan syariat Islam secara berangsur-angsur adalah sebagai berikut:
[QS 25:32] .. Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar)
[QS 20:114] Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau tergesa-gesa (membaca) Al Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu kepadaku.
[QS 75:16-19] Jangan engkau gerakkan lidahmu karena hendak cepat-cepat. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkan di dadamu dan membacakannya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.
[QS 17:106] Dan Al Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.
Periodisasi inilah yang menyebabkan lembaga cenderung meremehkan syari’at, salah satunya syariat sholat. Contohnya, jamak qashar diperbolehkan dengan alasan macet, tidak sholat jum’at juga diperbolehkan. Kapan diperbolehkan jamak qasharnya memakai pendapat pribadi, kalau ‘dirasa’ susah shalat boleh jamak-qashar.
Anehnya, periodisasi Mekah-Madinah dalam pelaksanaan syariat Islam ini tidak konsisten. Antara lain, shalat belum diwajibkan dengan sempurna tetapi zakat dan infaq lainnya dipungut. Menghindari riba tidak diharuskan karena ayat madaniyah, tapi penyembelihan qurban yang jelas-jelas perintah makiyyah tidak dilaksanakan. Padahal, penyembelihan qurban sudah ada di periode Mekah. Buktinya adalah surat Al Kautsar yang merupakan surat makkiyah.
Sejak masa da’wah di Mekkah, Rasulullah ﷺ sudah sholat, bahkan di awal-awal turunnya wahyu, Nabi Muhammad ﷺ sudah diwajibkan sholat malam sejak masih berda’wah di Mekah. Keterangan ini ada di surat Al Muzammil. Isra Mi’raj sudah turun 5 tahun sebelum hijrah. Sehingga, sejak di Mekah, Nabi Muhammad dan para shahabat sudah sholat 5 waktu. 2
Sistem periodisasi dalam pelaksanaan wahyu ini bertentangan dengan ayat berikut:
[QS 5:3] Pada hari ini, telah Aku sempurnakan diinmu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai diin/agamamu.
Ibnu Katsir) menyebutkan riwayat dari Ali bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan ayat ini dan berkata, “Maksudnya Islam. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan kepada Nabi-Nya serta kaum mukminin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah melengkapi iman untuk mereka sehingga mereka tidak butuh tambahan senya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menguranginya selamanya. Allah subhanahu wa ta’ala juga telah meridhainya sehingga tidak akan marah kepadanya selamanya.3
Syariat Islam sudah lengkap turun dengan sempurna dan sudah berlaku sepanjang zaman. Jadi, tidak ada periodisasi dalam pelaksanaan syariat. Dalam pelaksanaan syariat, umat Islam tidak perlu menunggu perintah pemimpin. Begitu mampu, langsung laksanakan saja.
Jika mau diambil hikmah dan pelajaran dari periodisasi Mekah-Madinah, maka pelajaran yang dapat diambil adalah lebih ke teknik dan taktik dalam berharokah dan da’wah. Bukan syariah.
Baca juga:
Periodisasi dalam Pelaksanaan Wahyu
Ahli Kitab = Alim Ulama?
REFERENSI
1 Penelitian mengenai NII Jatibarang, penulis penelitian tidak diketahui.
2 Berdasarkan khutbah Ust Ahmad Sarwat, https://www.youtube.com/watch?v=rcWiZ02Ul4k, https://www.youtube.com/watch?v=UEfYlwgGa5k
3 Disebutkan dalam Kitab al-Ujab fi Bayanil Asbab. Ibnu Hajar mengatakan bahwa di antara orang-orang tsiqah yang meriwayatkan dari Ibnu abbas yaitu … 3. Dari jalan Muawiyah bin Shalih dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Ali seorang yang shaduq dan jujur, tetapi tidak berjumpa dengan Ibnu Abbas. Akan tetapi, dia mengambil dari para murid Ibnu Abbas yang tsiqah. Oleh karena itu, al-Bukhari, Ibnu Abi Hatim, dan selain keduanya bersandar pada lembaran catatannya. Disadur dari https://asysyariah.com/agama-islam-telah-sempurna
Support Da’wah dan Kontak Kami di:
8 Comments