Menjadi kader NNII berarti menerima bahwa “kebenaran”, atau doktrin yang diberikan lembaga akan bertabrakan dengan segala hal yang pernah kita tahu tentang Islam. Bahkan menerima bahwa shalat, puasa, zakat dan sedekah, setiap dzikir, setiap lantunan shalawat yang dulu kita ucapkan tidak akan diridhai di sisi Allah. Tidak akan dianggap, kalau kita tidak berbaiat pada organisasi NNII.
Banyak istilah yang muncul. Pada angkatan lama, mereka yang belum berbaiat disebut sebagai orang-orang jahil, atau orang-orang yang bodoh dalam urusan agama. Mereka terjebak dalam sistem kufur, diperbudak sedemikian rupa sehingga tak sadar bahwa mereka sedang menjalankan sistem yang salah. Dan itu adalah dosa yang sangat besar, yaitu mengakui sistem kafir di atas sistem Allah.
Dalam doktrinnya, konsep “mengakui sistem kafir/sistem luar” ini bisa sangat mendasar. Hingga menyentuh perihal keseharian kadernya. Seperti menaati perintah orangtua, melaksanakan instruksi atasan di kantor, sampai yang sepele, seperti mengiyakan ajakan teman main bareng atau mengasuh keponakan karena diminta tolong saudara, yang semuanya tentu belum dibaiat.
Kader NNII didoktrin untuk selalu meragukan interaksinya dengan orang-orang di luar lembaga. Bahkan yang paling pahit –setidaknya bagi saya, kami diarahkan untuk tidak mendoakan orangtua kami sendiri. Kalaupun mau mendoakan, doakanlah agar mereka diberi hidayah, agar diberi keselamatan dari sistem kafir, agar dibukakan hatinya untuk menerima hidayah Allah. Atau dengan kata lain, mau dibaiat untuk masuk ke dalam lembaga tersebut.
Kami tidak boleh memohonkan ampun untuk mereka, karena memohonkan ampun untuk orang kafir itu hukumnya dosa. Kami juga tidak boleh menshalatkan jenazahnya, dan meminta agar Allah mengampuni dosa-dosa mereka ketika mereka telah tiada.
Boleh, tentu. Tapi harus minta izin dulu pada pimpinan. Ini pun hanya untuk kasus shalat jenazah, dengan tujuan “strategi”. Agar anggota keluarga yang lain tak curiga, kenapa kita absen menyalatkan jenazah orangtua sendiri.
Awalnya perintah ini terdengar mulia dan agung. Lihat, orangtua kita bodoh dan kafir! Betapa baik hatinya lembaga masih memperbolehkan kita untuk berbuat baik pada mereka.
Tahukah? Doktrin ini begitu melekat sampai terasa wajar sekali.
Saya akui, saya bukan ahli ibadah. Saya juga banyak melakukan dosa, banyak menyakiti hati orang lain, tidak konsisten berhijrah. Ada seribu alasan mengapa orang seperti saya masih saja sering bersikap kurang ajar pada orangtua, meskipun sudah belajar agama.
Namun kini saya sadari, fenomena “kurang ajar pada orangtua” ini ternyata terjadi juga pada kader-kader NNII lainnya.
Maaf, mungkin kata “kurang ajar” terlalu kasar. Mungkin lebih tepatnya: terlalu intens dalam mendakwahi orangtua, atau terlalu peduli pada orangtua yang “jauh” dari “kebenaran”, atau kecewa sangat mendalam karena orangtua menolak menerima “kebenaran” yang disampaikan pada mereka.
Intinya, itulah suasana yang dibangun dalam organisasi ini. Bahwasanya, berbuat baik pada orangtua pun harus dengan maksud untuk merekrut. Mereka terjebak sistem kafir, dan mereka menjalani hidup dengan jahiliyah. Mereka termakan konsep manis oknum-oknum yang menolak “sistem Islam”. Kita harus menyelamatkan mereka. Kita harus mengajak mereka masuk ke dalam lembaga ini.
Teknisnya, biasanya kader-kader yang masih dibina akan melaporkan siapa saja orang-orang yang mereka sasar untuk direkrut. Nanti akan ada pembina khusus Program Rekrut, yang mengevaluasi keberjalanan dakwah tiap kader di setiap kelompok. Tak hanya progress dakwah yang disoroti. Namun juga pilihan orang-orangnya, siapa saja yang dipilih kader untuk menjadi mad’u.
Tak sekali dua kali, kader mengajukan orangtuanya untuk direkrut. Biasanya kader akan me-request seorang mentor dalam rangka membimbing mad’u mereka menuju proses rekrut atau baiat oleh lembaga. Tapi lucunya, tak sekali dua kali pula kader harus kecewa karena mentor untuk membimbing orangtua mereka sendiri tak kunjung tersedia.
Selayaknya orangtua, wajar jika mereka minta dibimbing agama oleh seseorang yang terlihat lebih senior. Dari segi usia pun ingin yang lebih tua, lebih bijaksana. Tetapi kebanyakan mentor yang siap sedia mendakwahi para mad’u ini berusia sangat muda. Kebanyakan usia 20-30 tahunan. Itu pun mereka yang belum terlalu disibukkan dengan keluarga dan pekerjaan. Mereka –kader-kader usia kuliahan ini, pergi ke sana ke mari memenuhi “pesanan” para kader untuk mendakwahi mad’u-mad’u mereka.
Sampai sini Anda pasti bingung, kenapa tidak para kader itu sendiri saja yang berdakwah?
Mungkin karena kebanyakan kader awam soal agama. Mereka menelan mentah-mentah ajaran yang disampaikan di setiap pembinaan tanpa banyak tanya, karena banyak tanya sering diartikan “tergesa-gesa” dalam mempelajari Alquran. Dan tergesa-gesa itu sifatnya setan. Dan mungkin karena kader dibatasi hasratnya untuk mempelajari Islam lebih lanjut.
Kami dilarang “makan” dari tempat lain, atau dalam pengertian lembaga, dilarang untuk belajar Islam selain dari lembaga. Bahkan pada suatu waktu kami pernah diminta me-list daftar buku yang pernah kami baca, dengan tujuan mengontrol ilmu pengetahuan yang kami cerna. Wajar saja jika banyak yang tidak percaya diri, bahkan enggan merekrut. Saya menyaksikan sendiri bagaimana kader NNII kerap gelagapan menghadapi pertanyaan calon mad’u-nya.
Jadilah, para mad’u yang diincar adalah mereka yang dinilai sedang sedih, sedang stres, “butuh dibimbing”. Mereka orang-orang yang juga sedang terombang-ambing dalam hidupnya, sehingga –mungkin, dalam penilaian kebanyakan kader NNII mudah “digembalakan” untuk menerima doktrin lembaga.
Hasilnya? Anda bisa bayangkan sendiri. Banyak kader baru yang cenderung sulit diajak “berjuang” (atau ya, Anda juga bisa menyimpulkan, berjuang di sini berarti merekrut orang baru). Karena banyak di antara mereka yang sibuk bergelut dengan masalah-masalah mereka sendiri.
Orang-orang yang kritis pada pergerakan, orang-orang yang mencari kebenaran dengan caranya sendiri, cenderung dikucilkan. Bahkan dibunuh imejnya lewat desas-desus yang entah disengaja atau tidak, agar didengar oleh kader-kader lain.
Kembali lagi, lantas, bagaimana dengan orangtua kita?
Menyadari kenyataan bahwa orangtua kita bisa jadi kloter pertama yang masuk neraka cukup membuat kami stres. Di masa-masa awal, saya menyaksikan banyak yang masih memperjuangkan baiat orangtuanya. Namun makin ke sini, perjuangan itu melemah. Bahkan menghilang. Obrolan bernada semangat “mengislamkan” orangtua berganti dengan gosip-gosip seru seputar masalah hidup mad’u.
Ya, sewaktu kamu masih jadi mad’u, bisa jadi masalah hidup kamu yang kamu ceritakan pada da’i kamu saat itu diceritakan lagi olehnya pada saudari atau saudaranya. Cerita-cerita dan nama-nama terkait diceritakan begitu bebas, sampai saya curiga, jangan-jangan saya dibegitukan juga semasa direkrut dulu. Entahlah, ini hanya prasangka. Saya tidak tahu apakah yang lain merasakan hal yang sama.
Yang pasti, kami ditekankan untuk merekrut mahasiswa. Tahun-tahun terakhir, kami diwajibkan merekrut laki-laki, sesuatu yang sulit dilakukan para akhwat. Apalagi dengan instruksi harus “bermain cantik”, tapi harus menjaga hati agar tidak cenderung pada lawan jenis, dan sebaliknya. Itu kisah lain, dan bisa jadi tulisan berbeda. Saya belum mau bahas itu.
Lagi. Lantas, bagaimana dengan orangtua kita?
Setelah pergulatan batin yang panjang, saya memutuskan menceritakan semuanya pada ibu dan adik saya. Dari mereka saya terkejut, mengetahui bagaimana mereka memandang saya selama beberapa tahun terakhir.
Ibu saya bilang, saya itu dingin. Saya gampang marah, dan memaksakan pendapat saya, bahkan dengan cara yang tidak pantas. Adik saya mengaku, dia merasa kehilangan sosok kakak. Katanya saya tidak mudah menerima perbedaan pendapat. Saya sibuk sendiri. Saya jarang di rumah.
Saya seperti orang asing.
Mengapakah? Mengapa “Islam” membuat saya jauh dari keluarga saya sendiri? Mengapa “Islam” membuat saya tinggi hati, membuat saya merasa lebih benar, lebih tahu, lebih segalanya dibanding orangtua yang sudah membesarkan saya selama ini?
Mengapa “Islam” membuat rumah saya kian terasa asing?
Mengapa “Islam” membuat saya merasa kehilangan tempat untuk pulang, membuat saya meragukan kasih sayang orangtua dan saudara kandung saya sendiri?
Di suatu malam yang hening, saya menangis diam-diam di atas sajadah. Lirih terucap doa yang akrab di lidah saya sejak masa Taman Kanak-Kanak dulu. Kali ini, dengan hati. Kali ini, dengan kepasrahan, dengan memohon amat sangat.
Malam itu, saya memohonkan ampunan untuk orangtua saya… Yang pernah saya cap kafir, yang saya jauhi karena “bukan Islam”… Ampun… Ampun…[]
Baca juga: Kamu GENDUT
Baca juga: Persahabatan yang Bertepuk Sebelah Tangan – Part I
Support Da’wah dan Kontak Kami di: