Persahabatan yang Bertepuk Sebelah Tangan – Part I
Apa yang paling diinginkan seseorang yang kesepian? Tentu hadirnya seorang kawan. Hati yang hampa, keseharian yang sepi tanpa makna, bisa menjadikan seseorang sakit, baik mental maupun fisiknya. Maka, ketika hadir sosok-sosok yang menghampiri, mendekatinya dengan sedemikian rupa, meluluh-lantakkan setiap dinding yang membentengi hatinya, tentulah akan tumbuh perasaan senang, sayang. Perasaan diterima. Atau dalam kacamata kader NNII, orang tersebut telah “terikat”, dan siap “dipotong”.
Ini adalah kisah cinta. Tapi bukan romansa. Bisa dibilang ini adalah kisah persahabatan yang bertepuk sebelah tangan, yang dirasakan seorang mad’u pada da’i-nya. Ibarat calon anggota MLM yang terpesona dengan upline-nya. Dengan kata lain, perasaan seorang yang sedang ditarik masuk menuju proses rekrutmen, oleh kader NNII yang tengah dikejar target.
Kisah Stevie
Sembilan tahun sudah Stevie berstatus sebagai kader NNII. Meski hampir satu dekade, pengalaman baiatnya melekat kuat dalam ingatan. Tahun 2011, di sebuah masjid besar di jantung Kota Bandung. Hari sudah malam. Hampir satu jam yang lalu adzan Isya berkumandang. Namun Stevie dan Risna, sosok akhwat anggun yang beberapa minggu terakhir rajin mendengarkan keluh-kesahnya, memberikan nasihat, menguatkan dirinya dengan ayat-ayat Allah dalam sesi mentoring mingguan, belum juga pulang.
Stevie masih ingat, saat itu ia tak kenal takut. Yang ia rasa -untuk waktu yang cukup lama, hanyalah sedih. Ia sedih berkepanjangan, karena sahabat yang sudah ia anggap sebagai kakak “meninggalkannya”. Dulu semasa SMA, mereka berdua tak terpisahkan. Namun sejak kesibukan kuliah, teman-teman baru, ditambah lagi pacar si Kakak yang melarang sosok yang ia sayangi itu melakukan ini dan itu –membuat mereka sulit ketemu—mereka tak dekat lagi.
Stevie seolah kehilangan pegangan. Di rumah, ia tak dekat dengan orangtuanya, bahkan cenderung benci. Di kampus, Stevie merasa beda sendiri, minder, kuper, tidak menarik, tidak pantas bersikap supel dan punya teman banyak. Hanya Kakak itulah tempat ia berlari. Ketika orangtuanya terus bertengkar, ibunya masuk penjara dan melarikan diri dari debt collector. Ketika nenek dan paman-bibinya, tetangga-tetangganya mengucilkan, bergunjing tentang ibunya. Ketika rumah terasa kosong karena ibu tidak ada, hatinya sempat kuat karena sosok Kakak itu.
Di kampus Stevie berteman dengan beberapa orang. Tetapi ia tak pernah mengizinkan orang-orang itu masuk ke dalam hatinya. Bagi Stevie, tak ada orang yang mampu “mengalahkan” peran besar si Kakak pada dirinya. Tidak ada orang yang pantas bersahabat dengannya, kecuali si Kakak (padahal ia tengah patah hati, karena persahabatan mereka sedang renggang).
Bayangkan bagaimana sulitnya Stevie membuka diri.
Waktu itu keluarganya dilanda paceklik parah. Stevie kalut. Sebagai anak sulung, ia merasa bertanggungjawab harus ikut menyumbang untuk keluarga. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya mendapat pekerjaan paruh waktu. Ditambah lagi kesibukan kuliah, dan kondisinya yang ngekos jauh dari rumah. Pelan tapi pasti, Stevie mulai dilanda depresi. Rasa kesepian, sedih, khawatir akan kondisi rumah, pernikahan orangtua yang kian retak, membuat Stevie terjerumus pada hal-hal buruk.
Stevie makan tak terkendali seperti beruang rakus. Ia bisa tidur sampai 10 jam, tapi juga bisa begadang tanpa tidur seharian. Ia tinggalkan tugas-tugas kuliah. Yang ia mau hanya tidur dan tidur. Sampai suatu ketika ia terlambat masuk ke sebuah kelas, yang membuatnya harus mengulang kelas itu di tahun depan, dan mencoreng warna merah di transkrip nilainya semester itu. Dia yang saat itu memiliki smartphone pertamanya rajin mengunjungi situs-situs tak senonoh, membuat matanya terpapar konten-konten jorok dan membuatnya terbiasa dengan hal-hal berbau LGBT.
Stevie sadar, ia terjatuh ke dalam lumpur yang menghisap. Semakin ia bergerak, semakin dalam pula ia terhisap. Ia pun mengakui bahwa ia butuh pertolongan. Dia harus membuka hati.
Baca juga: Tegas dan Tidak Perlu Takut Berubah
Didekati karena Maksud
Ada seorang kawan perempuannya di jurusan yang di matanya cerdas dan unik. Kawannya itu supel, tak risih bergaul dengan laki-laki dan senior. Tapi Stevie dan –sebut saja dia Nani, bukan teman sepermainan.
Suatu ketika Nani mengajaknya pulang bareng ke Bandung naik bus. Saat itu Stevie sedang lelah-lelahnya, baik fisik maupun mental. Ia hanya ingin tidur. Namun Nani terus mengajaknya bicara.
Nani bercerita tentang banyak hal. Satu hal yang Nani tekankan dalam ceritanya, bahwa ia sedang kebingungan karena masalah organisasi Islam di SMA-nya dulu. Sejujurnya Stevie tidak tertarik dengan kisah Nani. Ia pun merespon biasa-biasa saja. Tiba-tiba Nani minta ditemani ngobrol lebih dalam, ia mengajaknya mampir di sebuah mal. Karena Nani pernah menolongnya dalam sebuah tugas kuliah, Stevie pun menuruti ajakan tersebut.
Kisah Nani tidak jelas, kalau diingat-ingat. Berputar-putar dan tidak terang maksudnya. Yang Stevie ingat, di akhir curhatnya yang panjang itu, Nani tahu-tahu mengajaknya mentoring.
Beberapa waktu ke depan Nani sering mengajaknya pulang bareng. Waktu itu Stevie memang tidak ngekos lagi karena alasan biaya. Perjalanan panjang di bus seolah jadi sarana pendekatan mereka berdua. Tak butuh waktu lama bagi Stevie untuk mengiyakan ajakan mentoring Nani.
Stevie pun dikenalkan pada seorang akhwat. Mereka bertemu di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Sebagaimana kelompok mentoring pada umumnya, Stevie dijelaskan tentang tujuan pembinaan tersebut. Bahwa hidup seorang manusia harusnya untuk Allah, karena kita semua milik Allah. Bahwa jalan hidup kita semestinya jalan yang lurus, yang hanya diikuti oleh orang-orang terpilih, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran Surat Al-Fatihah.
Di setiap sesi mentoring, entah kenapa teteh itu selalu menekankan satu kata. “Komitmen”.
“Apakah kamu mau berkomitmen hijrah ke jalan Allah?”
“Komitmen gimana maksudnya, Teh?”
“Jawab dulu… Mau apa tidak?”
“… Iya mau, Teh.”
Stevie menjawab setengah hati, karena tak paham makna “komitmen” yang terus disinggung sang Murabbi. Lucunya, tekad Stevie berhijrah malah memudar. Ia mulai dekat dengan kawan-kawan sejurusannya, bahkan sampai bikin geng segala. Ia juga malas mentoring di Bandung. Akhirnya “komitmen” itu jadi lucu-lucuan belaka. Stevie balik lagi ke kebiasaan lamanya. Luntang-lantung tanpa cahaya Allah menenangkan hatinya.
Pada suatu titik, Stevie teringat lagi akan Allah, dan janjinya dulu untuk belajar Islam. Ia pun kembali menghubungi Nani, minta ngaji lagi. Kali ini, bukan Teteh yang dulu yang mengajarnya. Ia dipertemukan dengan dua akhwat berbeda. Stevie tidak curiga. Nani kan supel, pasti dia punya banyak kenalan orang saleh, begitu pikirnya.
Salah satu dari akhwat itulah yang rutin mengajarinya soal Islam. Mentoring tiap minggu rajin ia sabangi. Sebagian besar waktu mereka Stevie manfaatkan untuk curhat. Dia yang tadinya tertutup dan curigaan, jadi sangat terbuka pada akhwat ini. Ia bahkan menceritakan aib orangtua dan paman-tantenya. Ia merasa percaya dan dekat. Walau tidak diucapkan, diam-diam Stevie menjadikan akhwat ini sebagai tempat pelarian baru.
Satu kesamaan si akhwat dengan teteh yang dulu mengajarnya, mereka kerap menyebut-nyebut kata “komitmen”. Stevie sedang dilanda euphoria. Dia sedang belajar Islam, dia bertemu dengan teman baru. Dia sedang on the way jadi pribadi yang lebih baik. Dan dia sama sekali tak curiga.
Hingga peristiwa malam itu, ketika ia diminta berbaiat pada organisasi yang tak ia ketahui namanya.
Setelah Baiat
Bagi seorang yang sedang putus asa, konsep persaudaraan dan jamaah sangat memikat. Ide bahwa setiap Mukmin harus mencintai Mukmin lainnya seolah jadi penghibur bagi jiwa Stevie yang gundah gulana. Walaupun ada keraguan, Stevie menerima ajakan si akhwat untuk berbaiat, untuk menegakkan ajaran Alquran dalam kesehariannya.
Selang beberapa waktu setelah Stevie mengiyakan ajakan tersebut, seorang ikhwan datang menghampiri mereka berdua. Stevie diberitahu, bahwa untuk berbaiat dibutuhkan seorang ikhwan sebagai petugas saksi. Singkat cerita Stevie pun diambil baiatnya. Untuk taat pada Allah dan Rasul, dan pada ulil amri atau “pemimpin”, yang hingga kini –sembilan tahun kemudian, tidak pernah disebut-sebut nama aslinya.
Sebagaimana kader-kader yang baru direkrut, Stevie wajib ikut pembinaan satu minggu sekali. Awalnya Stevie dibina sendiri oleh akhwat yang merekrutnya. Lama-kelamaan personilnya bertambah. Kelekatan yang seolah ada antara Stevie dan si akhwat kian memudar. Puncaknya, saat Stevie ditransfer ke kelompok pembinaan yang lebih besar, dan murabbi yang berbeda. Stevie dan akhwat itu putus kontak. Ada perasaan bingung, kenapa akhwat itu tiba-tiba seolah menjauh. Padahal bisa saja mereka ketemu, makan bareng, ngobrol-ngobrol layaknya kawan dekat meski Stevie sudah di kelompok pembinaan yang berbeda. Tapi akhwat itu tak kunjung menghubunginya. Stevie merasa, “Oh, mungkin karena orang seperti saya tidak pantas berteman dengan orang seperti dia.” Rasa rendah dirinya pun muncul lagi.
Kelak Stevie asal-asalan hadir dalam pembinaan. Dia merasa tidak cocok, merasa tak pantas bersanding bersama akhwat-akhwat anggota pembinaan lain yang kelihatannya jauh “lebih Islami” dibanding dia. Dalam kelompok pembinaan yang terdiri dari 10-12 orang itu, Stevie tak lagi merasakan kelekatan dengan satu sama lain. Sejak awal dia butuh pundak untuk bersandar, namun orang-orang dalam pembinaan itu sepertinya memikirkan hal lain. Mereka terlihat lebih tertarik membicarakan soal pergerakan Islam. Apa pula itu, pergerakan, pikir Stevie.
Pergi dan Balik Lagi
Stevie malas pembinaan lagi. Dia pun mulai jarang hadir. Ketua kelompok sering menghubunginya, menanyakan kabar dirinya. Mengirim doa-doa, mengirim teks pesan yang intinya berharap agar Stevie kembali ikut pembinaan.
Seiring berjalannya waktu, Stevie mulai merindukan pembinaan. Dia rindu membahas ayat-ayat Allah, dan mendapat ketenangan setelahnya. Stevie tidak mengontak ketua kelompok pembinaannya dulu. Dia menghubungi si akhwat yang lama tak tahu kabarnya, yang dulu pernah begitu dekat dengannya dan menjauh setelah ia dibaiat.
Stevie pun menyatakan ia hanya mau dibina oleh akhwat tersebut. Akhirnya selama bulan-bulan yang panjang, Stevie dibina lagi dari dasar. Berdua saja dengan akhwat itu. Pada suatu titik, Stevie merasakan niatnya berubah. Dia tak lagi sekadar mencari kenyamanan. Dia tulus ingin belajar Islam. Dan dia ikhlas mau mengabdi pada kelompok pergerakan itu, meski ia tak pernah diberi tahu nama organisasi dan siapa pemimpinnya.
Selama beberapa tahun, sepertinya Stevie dianggap “sudah layak” untuk ditransfer ke kelompok pembinaan yang “lebih advanced”. Di kelompok barunya, dia mendapat materi-materi lanjutan yang menghentak kesadarannya.
Bahwa tujuan hidup kita salah satunya adalah “menyelamatkan manusia dari kekufuran”, bahkan meski manusia tersebut terlahir dari keluarga Muslim, ber-KTP Muslim, dan melakukan ibadah ritual layaknya seorang Muslim. Bahkan meski manusia tersebut menyembah Allah dan berdoa pada Allah saja. Dia harus diselamatkan karena “tak menjalankan Islam sepenuhnya, karena tidak tergabung dalam jamaah.” Dia sejatinya bukan Muslim, walau dia merasa Muslim, karena belum berbaiat pada lembaga.
Perintah Berdakwah
Awalnya Stevie tidak percaya diri ia bisa merekrut –atau dalam istilah lembaga NNII, “mendakwahi” orang. Apalah, dia. Perempuan awam dengan masa lalu yang suram. Namun murabbinya meyakinkan, bahkan seringkali mengingatkan dengan tegas, bahwa dakwah wajib bagi setiap anggota kelompok pembinaan.
Tapi, gimana? Aku enggak belajar Islam, sebelumnya.
Tidak apa. Ambil saja materi dari catatan pembinaan.
Stevie pun memberanikan diri untuk mendekati orang-orang di sekitarnya. Awalnya dia “berdakwah” dengan amarah, dengan kata-kata tajam dan sinis, karena merasa sistem hidup yang dijalani orang-orang di sekitarnya itu sistem kafir, dan merekalah orang-orang jahiliyah di abad ini. Namun seiring berjalannya waktu, ia dan saudari-saudari sekelompoknya diajari untuk “bermain cantik.”
Bermain cantik seperti apa?
“Jadilah kawan terdekatnya.”
“Kalau perlu, traktir dia makan sesekali, kalau sedang butuh uang, pinjamkanlah.”
“Dahulukan mad’u dan berdakwah, baru pikirkan kerja dan kuliah.”
Wah, betapa Stevie tidak tahu bahwa dia berbakat menjadi seorang salesman. Pelan tapi pasti, kepribadian Stevie berubah. Dia pandai memikat orang-orang untuk percaya padanya, untuk kagum pada “pandangan hidupnya”.
Beberapa orang yang jadi dekat dengannya, dia dekati lebih dalam lagi. Tentu dengan maksud, yaitu untuk direkrut. Dia korbankan waktu dan tenaganya demi mendekati mad’u-mad’u ini. Karena harus mendakwahi mad’u-mad’u tersebut seminggu sekali, ditambah kewajiban ikut pembinaan setiap weekend, dia hampir tak punya waktu untuk keluarga dan bersilaturahim dengan teman-teman di luar lembaga. Lambat laun, dia menyadari dia tak punya sahabat karib selain saudari-saudari di lembaga. Karena orang-orang di luar lembaga adalah mad’u, mereka tak boleh melihat “aurat” kita, atau kelemahan-kelemahan kita. Dekati mereka dengan maksud karena kewajiban kita atas mereka adalah “menyelamatkan”, bukan menjadi kawan.
Penutup
Pada akhirnya Stevie menyadari kenapa akhwat yang merekrutnya dulu perlahan menjauh, justru setelah dia “resmi” menjadi saudari seperjuangannya. Akhirnya ia mengerti, mengapa ia merasakan kehampaan kala “berdakwah”, karena “dakwah” itu atas dasar target rekrut yang terus dievaluasi angkanya oleh lembaga setiap tahun. Di senjakala status keanggotaannya di lembaga yang mengaku dirinya sebagai ISLAM SEBENAR-BENARNYA ISLAM, di hampir satu dekade “perjuangannya” di organisasi yang mengaku sebagai LEMBAGA KERASULAN SEJATI itu, Stevie baru mengerti arti persaudaraan bagi mereka, kawan-kawannya yang masih loyal pada lembaga.
Persaudaraan itu perintah. Persahabatan itu karena tugas. Kelekatan boleh, tapi harus karena perintah lembaga. Rasa sayang, cenderung pada sesama saudari atau pada lawan jenis yang tumbuh sendirinya, patut dicurigai, karena pasti itu karena hawa nafsu. Pasti rasa itu karena meng-ilah-kan saudari.
Jika kita butuh kawan, itu pasti karena kita menduakan Allah. Itu pasti.
Jika kita ingin bahagia dan menentukan jalan perjuangan kita sendiri, itu pasti karena kita tidak taat pada pimpinan. Itu pasti.
Jika kita ingin mengembangkan diri pada bidang sesuai potensi dan minat kita, itu pasti karena kita hanya memikirkan diri sendiri. Itu pasti.
Maka wajar, mengapa Stevie pernah begitu membenci dirinya sendiri. Kemarin, selama hampir satu dekade terakhir. Sejak malam penentuan itu di sebuah masjid besar di jantung Kota Bandung.[]
Support Da’wah dan Kontak Kami di:
menarik :)