Dalam lembaga NNII, kekuasaan pimpinan itu sangat luas dan mutlak. Berhak mentaarufkan umat, berhak menikahkan umat, berhak pula menceraikan umat. Umat bisa mengajukan, namun harus melalui birokrasi yang panjang, terkadang harus membayar sejumlah uang tertentu. Pemimpin menentukan siapa menikah dengan siapa, kapan ditaarufkan, apakah sudah siap atau belum, seluruhnya ditentukan oleh pimpinan.
Alasan yang kami dapat dari kebijakan tersebut adalah agar kami menikah benar-benar untuk melaksanakan program lembaga Allah, bukan karena hawa nafsu. Ayat yang melarang kami untuk menyukai lawan jenis adalah ayat at Taubah, 9:24. Namun, setelah menikahpun, tidak jelas apa program yang harus kami lakukan setelah menikah.
Dan, hal yang memeras hati kami adalah, otoritas pimpinan dalam mengatur pernikahan ini telah ada sejak dua puluh tahun yang lalu. Dalam buku “Jihad Terlarang”, diceritakan pula bahwa beberapa kali orang-orang atas pernah melarang ikhwan dan akhwat menjalin hubungan asmara tanpa sepengetahuan pimpinan. Bahkan ada juga larangan, ikhwan tidak boleh memilih sendiri calon istrinya, atau sebaliknya, akhwat tidak boleh memilih sendiri calon suaminya, apalagi jika calon suaminya bukan orang dalam. Pernikahan antar-anggota pergerakan harus ditentukan oleh pemimpin. 1
Penulis buku Jihad Terlarang itu pun mengatakan, bahwa beliau sendiri menyaksikan bahwa larangan itu hanya berlaku untuk mereka yang secara struktural ada di level bawah piramida organisasi lembaga. Tapi, sering juga beliau menyaksikan ikhwan yang punya hubungan dekat dengan pemimpin, atau berada di level atas pergerakan boleh memilih sendiri akhwat yang ingin dia nikahi.
Ini berbeda dengan ada banyak hadits yang mengatakan bahwa setiap umat Islam berhak memilih pasangannya masing-masing. Contohnya sebagai berikut:
Nabi ﷺ bertanya kepada Jabir ra, “Wahai Jabir, apakau kamu telah menikah?” Jabir menjawab, “Ya”. Beliau bertanya lagi: “Dengan seorang gadis atau janda?” Saya menjawab; “dengan seorang janda”. Beliau ﷺ menjawab, “Kenapa kamu tidak memilih yang masih gadis, hingga kamu bisa mencumbunya dan dia bisa mencumbumu?”. Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki saudara-saudara perempuan, dan saya khawatir jika dia (gadis) melunturkan hubungan baik antara saya dan mereka.” Lalu beliau ﷺ bersabda: “Jika demikian maka tidak masalah, sesungguhnya seorang wanita dinikahi karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” 2
Ada seorang wanita muda datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata; “Wahai Rasulullah, ayahku menikahkan saya dengan anak saudaranya dengan tujuan agar derajatnya terangkat.” Rasulullah ﷺ lantas memberi kesempatan kepada si wanita itu untuk memutuskan pendapatnya sendiri. Si wanita tersebut lantas berkata: “Sebenarnya saya telah berkenan dengan apa yang dilakukan ayahku, tetapi saya hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak berhak memaksa anak perempuannya.” [3]
Jelas sekali dalam hadits di atas, dan juga banyak hadits lainnya bahwa umat Islam berhak memilih pasangannya sendiri. Seorang ayah tidak berhak memaksa anak perempuannya untuk menikah, maka apalagi seorang pimpinan organisasi di luar keluarga. Rasulullah ﷺ tidak susah payah mengurusi dan mengatur pernikahan umat Islam, karena Rasulullah ﷺ sibuk mengurus da’wah dan tarbiyah umat Islam. Maka, janganlah mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya…..
Baca Juga:
- Kebijakan dan pemahaman ditentukan oleh ulil amri terdekat
- Tercampur baurnya hak Allah, hak pimpinan dan hak umat
- Sibuk Menghakimi Niat
REFERENSI:
1 Mataharitimoer, “Jihad Terlarang”, Penerbit Literati. 2007
2 Hadits shahih riwayat Muslim no. 2662, diakses melalui aplikasi Ensiklopedi Hadits
[3] Hadits riwayat Ahmad no. 23892