Pertama, seluruh kata ‘rasul’ di kedua ayat ini ditafsirkan sebagai pimpinan. Ini adalah tafsir yang tidak tepat, karena istilah ‘Rasul’ di sini merupakan istilah syar’i yang selalu mengacu kepada Rasulullah ﷺ. Penjelasan lebih lengkap ada di Bab mengenai Rasul.
Kedua, karena kata ‘Rasul’ dan ‘engkau’ di sini mengacu kepada Rasulullah ﷺ, maka ciri-ciri keimanan adalah menjadikan ajaran-ajaran Rasulullah ﷺ, yaitu Al Quran dan As Sunnah, sebagai hakim dan hukum dalam setiap perkara kehidupan. Sehingga, ciri keimanan bukanlah menjadikan kebijakan pimpinan sebagai hukum, tetapi menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai hukum. Jadi, standar kebenaran bagi seorang mu’min adalah Al Quran dan As Sunnah, bukan kebijakan pimpinan.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir1, dikatakan bahwa tidaklah beriman seseorang sebelum ia menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai hakimnya dalam semua urusannya. Semua yang diputuskan oleh Rasulullah ﷺ adalah perkara yang haq dan wajib diikuti lahir dan batin. Yang disebut orang-orang yang beriman adalah mereka yang mentaati keputusan hukum Rasulullah ﷺ dengan tulus ikhlas sepenuh hati mereka, dan dalam hati mereka tidak terdapat suatu keberatan pun terhadap apa yang telah engkau putuskan, mereka tunduk kepadanya secara lahir dan batin serta menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa ada rasa yang mengganjal, tanpa ada tolakan, dan tanpa ada sedikitpun rasa menentangnya. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadits:
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.”2
Ketiga, jika memang pengakuan dosa ini bertujuan untuk ditegakkannya hukum Islam, maka yang perlu dilaporkan adalah dosa-dosa yang tergolong kepada hudud, hukum pidana Islam; atau jinayat, undang-undang Islam. Tidak semua dosa harus dilaporkan. Untuk penanganan hukum pidana, sang pelanggar memang harus datang ke pengadilan untuk dihukumi. Namun, pengaduan dosa untuk dihukumi berdasarkan syariat Islam ini baru bisa dilaksanakan ketika sudah ada wilayah hukum. Dan hakim yang bertugas adalah hakim yang berkompeten, sebagaimana seseorang baru boleh menjadi mufassir setelah memenuhi persyaratan. Sayangnya, umat Islam belum memiliki wilayah hukum, sehingga pelanggaran hukum pidana belum bisa dihukumi.
Baca juga:
REFERENSI:
1 Tafsir Ibnu Katsir untuk QS 4:64-65, diakses melalui aplikasi Al Quran (Tafsir & By Word)
2 Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi. Namun penshahihan hadits ini tidak tepat menurut Ibnu Rajab. Walau hadits di atas adalah hadits yang dha’if, namun maknanya benar. Makna hadits tersebut menurut Ibnu Rajab Al-Hambali, kita dikatakan memiliki iman yang sempurna yang sifatnya wajib ketika kita tunduk pada ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya serta mencintai perintah dan membenci setiap larangan. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 395. Penjelasan ini disadur dari
https://rumaysho.com/12601-menundukkan-hawa-nafsu-demi-mengikuti-ajaran-nabi.html
Support Da’wah dan Kontak Kami di:
4 Comments