Beruntung, Rahmi telah berhasil membiasakan diri melakukan ibadah-ibadah sunnah yang berat secara konsisten. Inilah yang menjadi benteng dan kekuatan bagi Rahmi sehingga tidak terjebak dalam kesedihan dan kepedihan. Rahmi bangkit dan bangkit untuk menyelesaikan tesis S2nya. Akhirnya, Rahmi berhasil menyelesaikan tesisnya. Barokah, paper Rahmi yang merupakan dokumentasi tesisnya mendapatkan penghargaan sebagai Best Paper di konferensi di Malaysia.
Roni masih tidak mengakuinya
Di tahun 2014 setelah Rahmi menyelesaikan tesis S2nya dan diwisuda, Rahmi menghadap pimpinan terdekat kembali untuk berkonsultasi. Pimpinan saat itu yang ditemui adalah Roni, kang Beni dan kang Ari untuk menanyakan lagi tentang pernikahan. Namun, apa jawaban Roni? Roni menjawab, bahwa tidak ada program sama sekali antara Roni dan Rahmi.
Padahal, kang Beni dan semua jajaran pimpinan lainnya yang pernah dimintai konfirmasi oleh Rahmi mengatakan bahwa rencana itu memang ada. Sudah tiga tahun lamanya, setiap Rahmi mengkonfirmasi ke pimpinan yang lain, memang jawabannya seperti itu. Program itu ada. Namun Roni tidak pernah mengakuinya di hadapan Rahmi. Entah malu, gengsi, atau apa. Bagi Rahmi, semua bukti-bukti bahwa Roni memang mengajukan proposal ke orangtua, bahwa Roni memang merencanakan taaruf antara mereka, bahwa Roni memang menunda begitu lama telah begitu jelas.
Semua informasi yang ada di benak Rahmi menjadi inkonsisten dan melelahkan. Dari sudut pandang Islam, Rahmi merasa sudah siap menikah sejak lama. Syarat fisik, syarat tesis, dan syarat lainnya adalah syarat-syarat yang ditentukan manusia. Jika ada pria luar lagi yang mendekati, Rahmi nampaknya tidak akan sanggup lagi menolak mereka. Rahmi mengakui memang dirinya menginginkan dan membutuhkan untuk nikah muda sejak dulu. Dalam forum tersebut, Rahmi terang-terangan meminta untuk dinikahkan. Namun, pada saat itu, permintaan itu dianggap hina dan menjijikkan. Baik Roni, kang Beni dan kang Ari memandang Rahmi dengan sinis.
Perwalian yang membingungkan
Dalam forum itu, Rahmi juga menanyakan siapakah wali sah Rahmi?
Dalam Islam, proses pernikahan seorang perempuan didampingi oleh wali sahnya. Jika ada pria yang ingin melamar seorang perempuan, maka pria tersebut meminta izin kepada wali sah perempuan tersebut. Jika Ayah perempuan masih hidup, maka ayah perempuanlah yang berhak menjadi wali bagi sang perempuan. Jika Ayah perempuan sudah meninggal, maka hak perwalian berpindah ke (1) kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas, (2) saudara lelaki kandung, (3) saudara lelaki seayah, (4) anak laki-laki saudara laki-laki kandung, (5) anak laki-laki saudara laki-laki seayah, (6) paman (saudara ayah) kandung, (7) paman (saudara ayah) seayah, (8) anak laki-laki dari paman kandung, (9) anak laki-laki dari paman seayah, dan terakhir, jika seluruh daftar wali nasab itu tidak ada, maka hak perwalian itu beralih ke (10) wali hakim.
Nah dalam lembaga, semua orang di luar lembaga dianggap kafir, jahil atau tidak dapat disebut. Intinya bukan muslim. Sehingga perwalian ayah dan seluruh wali nasab dianggap gugur. Yang berlaku di lembaga, saat akad, adalah wali hakim. Namun yang mengherankan, jika ada perempuan kader lembaga yang menikah dan ayah kandung atau saudara laki-lakinya sudah masuk lembaga, dalam proses pernikahan, ayah kandungnya tetap tidak punya hak perwalian dalam pernikahan. Begitupun saudara laki-laki tidak punya hak perwalian.
Yang berhak menjadi wali dalam akad nikah lembaga adalah tahkim. Yang berhak menengahi dalam proses pernikahan adalah wali. Nah untuk setiap perempuan kader lembaga, siapakah walinya? Apakah ketua akarnya, pimpinan terdekatnya, pimpinan harian, atau siapa? Mengapa untuk kasus Rahmi dan Roni, Roni sebagai pimpinan bisa memiliki kendali atas semuanya, tidak ada yang menengahi mereka sama sekali?
Bersambung di page selanjutnya. –>
8 Comments