By: YHR, MQ, MZ
Ada seorang kader yang bertanya kepada seorang pimpinan lembaga, “Status orang yang menolak diajak masuk lembaga atau keluar dari lembaga itu apa?”
Pimpinan tersebut menjawab, “fasik“.
Namun, setelah kader tersebut bertanya kepada pembinanya hanya selang beberapa hari, jawaban pembinanya adalah: “murtad“.
Hal yang lain lagi didapatkan saat kader tersebut melaksanakan akad nikah di lembaga. Saat khutbah nikah, seorang ustadz terang-terangan mengatakan bahwa “orang luar adalah kafir”.
Dan jika kita bertanya ke level pengurus, seorang murobbi kelompok misalnya, akan kita dapatkan jawaban yang berbeda lagi, yaitu jawaban seperti ini:
“Bukan tidak mungkin masih ada orang yang sudah beriman tapi belum memutuskan bahwa dia akan mengambil Islam sebagai jalan hidupnya (muslim). Dan tidak ada yang bilang bahwa mu’min yang belum muslim itu tidak mulia di mata Allah.”
Pengurus tersebut mendefinisikan Islam sebagai NNII dan orang luar itu mu’min yang belum muslim.
Namun ada juga pengurus lainnya, murobbi di level yang sama yang mendefinisikan orang luar itu adalah muslim yang belum mu’min.
Dari inkonsistensi seperti ini, ada kemungkinan bahwa anggota di lembaga NNII juga agak denial terhadap pemahaman syahadat. Karena kalau ada yang menyebut orang luar adalah muslim yang belum mu’min, itu merupakan bentuk ketidakberanian saja dalam melontarkan pemahaman yang sebenarnya: kafir.
Inkonsistensi ini juga menunjukkan bahwa lembaga kebingungan dan tidak memiliki dasar pemahaman yang shahih (valid) dan konsisten. Padahal, dengan sedikit mencari, mendengar fatwa ulama dan merujuk kepada hadits-hadits shahih, akan kita temukan bahwa siapapun yang menunjukkan tanda-tanda zhahir sebagai muslim seperti sholat dan menghadap kiblat, maka itu sudah cukup bagi kita untuk menganggapnya sebagai muslim.
Wallahu a’lam.
Baca juga: Apakah dengan Melaksanakan Ajaran-ajaran Islam, maka Sudah Cukup Menjadi Muslim?
Baca juga : Pemimpin Saya Bilang, Kita Tidak Takfir Kok..