Tidak bisa dipungkiri bahwa pembinaan oleh kader-kader lembaga memiliki manfaat bagi saya. Kebaikan dan sebagian kebenaran tersebut pada hakikatnya datang dari Allah, namun tersampaikan pada saya melalui kader lembaga. Salah satu manfaat yang saya terima adalah mengenai keikhlasan yang berarti memurnikan niat benar-benar karena Allah. Kami dididik untuk terus meluruskan niat murni karena Allah. Salah satu bentuk “niat karena Allah” adalah dengan meniatkan segala kegiatan agar bisa bernilai da’wah untuk membela diin/agama Allah.
Seiring berjalannya waktu, hal ini berubah menjadi budaya ‘menghakimi niat’ yang pedih dan menyakitkan. Segala sesuatu memang harus diniatkan untuk Allah, tapi pihak pimpinan dan murobbi terlalu sering menghakimi niat bawahannya untuk amal-amal yang sebenarnya secara hukum syar’i adalah mubah (boleh). Contoh, kader-kader awal tidak diperkenankan untuk memilih pasangan untuk dinikahi dengan alasan agar para kader meniatkan menikah benar-benar karena Allah, bukan karena hawa nafsu. Padahal secara syar’i, memilih pasangan itu boleh. Selain itu, kader-kader awal juga diarahkan untuk tidak kuliah di luar negeri, karena dianggap itu tidak diniatkan untuk perjuangan lembaga yang terbatas hanya di Indonesia. Ada kader yang pernah dilarang mempelajari bahasa al Qur’an karena dianggap salah niat. Ada pula kader yang lebih memilih sebagai pendidik daripada perekrut yang akhirnya dimusuhi karena dianggap salah niat. Lalu, jika ingin mengetahui penyaluran ZIS dan ingin mengetahui sosok pimpinan, maka akan dianggap niat pertanyaan tersebut bukan karena Allah. Penghakiman berlebihan untuk amal-amal yang sebenarnya boleh-boleh saja.
Sosok yang memiliki niat lurus karena Allah dianggap sebagai sosok yang tidak memiliki harapan, cita-cita, keinginan dan bertekad lemah. Bahkan untuk keinginan-keinginan manusiawi seperti ingin memiliki pasangan yang disukai atau ingin berkiprah sesuai minat dan bakat akan dihakimi habis-habisan. Niat lurus karena Allah dianggap sebagai seorang yang tidak memiliki inisiatif dan harapan selain untuk menjalankan perintah pimpinan. Tidak punya cinta, tidak punya cita-cita selain untuk menjalankan perintah pimpinan.
Biasanya kader lembaga lebih fokus menghukumi niat dari sebuah amal, daripada menilai hukum taklifi sebuah amal. Tidak ada kajian apakah sebuah amal itu dikategorikan sebagai wajib, sunnah (dalam sudut pandang fiqih), mubah, makruh atau haram. Hal yang mubah dan sunnah bisa saja dilarang oleh pimpinan karena kami dianggap salah niat. Tidak heran bahwa lembaga tidak memberi perhatian pada hukum-hukum syar’i.
Banyak kebijakan-kebijakan yang menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah dengan berbagai alasan asalkan niatnya mereka anggap benar. Misal, diperbolehkan menggunakan istilah syahadat untuk perekrutan dan rasul untuk pimpinan asalkan niatnya agar umat loyal pada lembaga. Atau kebijakan ritual qurban yang dihilangkan dan diganti menjadi shodaqoh qurban agar usaha lembaga mendapatkan dana. Kebijakan yang walaupun mungkin tujuannya ‘baik’, tapi implementasinya menyimpang dan menyesatkan sangat jauh. Padahal, syarat diterimanya ibadah adalah niatnya lurus dan sesuai tuntunan Al Qur’an dan As Sunnah.
Menyerahkan Hisab Hati kepada Allah
Berikut ini dalil mengapa lebih baik hisab hati diserahkan kepada Allah:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
“Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS. At Taubah: 5).
Imam Nawawi dalam Kitab Riyadush Sholihin mengatakan, bahwa kita “menjalankan hukum-hukum terhadap manusia menurut lahiriyahnya. Sedangkan keadaan hati mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.”1
Abu Mas’ud ra bercerita: “Sesudah Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk bersedekah, maka kami saling membawakan sedekah tersebut agar kami mendapatkan pahala darinya, lalu Abu Uqail bersedekah dengan satu setengah sha’, kemudian datang seseorang dengan membawa lebih banyak dari itu, lalu orang-orang munafik berkata: “Allah ﷻ tidak membutuhkan sedekah orang ini, orang ini tidak melakukannya kecuali dengan riya. Lalu turunlah ayat:
“Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya.” (QS. 9:79). 2
Suatu kali, Khalid bin Walid berkata: Berapa banyak orang yang shalat berkata dengan lisannya yang tidak sesuai dengan hatinya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tidak diperintah untuk menyelidiki hati seseorang atau mengetahui isi perutnya”.3
Hadits lainnya dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah ﷺ berkata, “Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah. Jika mereka mengucapkannya kemudian mendirikan shalat seperti shalat kita, menghadap ke kiblat kita dan menyembelih seperti cara kita menyembelih, maka darah dan harta mereka haram bagi kita kecuali dengan hak Islam dan perhitungannya ada pada Allah.” 4
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Rasulullah ﷺ mengirim kami ke Khurqah, lantas kami melakukan penyerbuan ketika pagi buta, kemudian kami mengobrak abrik mereka. Aku dan seorang laki-laki Anshar kebetulan berhasil memergoki seorang laki-laki dari mereka, ketika kami bisa mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan syahadat “laa-ilaaha-illallah”. Si laki-laki Anshar rupanya menahan diri dari penyerbuannya, namun aku nekad menusuknya dengan tombakku hingga aku berhasil membunuhnya. Ketika kami tiba, berita ini sampai kepada Nabi ﷺ Lantas beliau berujar kepadaku: “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah mengucapkan laa-ilaaha-illallah? Saya jawab; “Dia mengucapkan kalimat itu hanya untuk mencari selamat saja!” Rasul tidak henti melancarkan kritiknya padaku hingga aku berangan-angan kalaulah aku belum masuk Islam sebelum hari itu.5
Dari Usamah bin Zaid, ia berkata; Rasulullah mengutus kami dalam kesatuan militer menuju Al Huraqat. Kemudian mereka mengetahui kedatangan kami, lalu mereka melarikan diri. Kemudian kami mendapati seorang laki-laki, dan tatkala kami mengepungnya ia mengucapkan: Laa Ilaaha Illallah kemudian kami menebasnya hingga kami membunuhnya. Lalu hal tersebut aku ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berkata: “Siapakah yang akan menolongmu apabila Laa Ilaaha Illallah telah datang pada Hari Kiamat?” Lalu aku katakan; wahai Rasulullah, sesungguhnya ia mengucapkannya karena takut kepada senjata. Beliau berkata: “Apakah engkau telah membelah hatinya hingga engkau mengetahui apakah ia mengucapkannya karena takut atau tidak? Siapakah yang akan menolongmu apabila laa ilaaha illallah telah datang pada Hari Kiamat?” Beliau terus mengucapkan hal tersebut hingga aku berharap bahwa aku belum masuk Islam kecuali pada saat itu.6
Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya dan sesuatu yang keluar dari lisannya. Sedangkan hati, itu bukan urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya. 7.
Hukuman dari Menuduh Niat 8
Kisah nyata seorang shahabat Rasulullah ﷺ . Shahabat tersebut melihat ada orang yang rukuk dan sujud sambil menangis. Lalu shahabat tersebut berkata dalam hati “Ah dia itu menangis karena riya dan sum’ah”. Lalu shahabat tersebut dihukum oleh Allah tidak bisa menangis selama sebulan.
Berkata dalam hati saja seperti itu, apalagi kalau tuduhan itu disiarkan dan dijadikan pertimbangan kebijakan? Jika banyak orang sibuk dengan perkataan manusia, maka orang-orang itu akan disibukkan dengan perkataan manusia dan tidak sibuk dengan perkataan Allah.
Lebih baik memang tidak menceritakan amal. Semakin sedikit mata dan semakin sedikit orang yang mengetahui ibadah kita, maka semakin baik. Tetapi juga jangan menuduh niat dari amal seseorang. Ibadah, eksklusif, tapi dalam urusan muamalah, inclusif. (Disadur dari ceramah Ust Oemar Mita)
Penutup
Sudah sangat banyak kebijakan dan implementasi program lembaga yang sangat menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah. Telah banyak juga pertanyaan, saran dan masukan dari umat kepada pimpinan agar lembaga lebih baik.
Namun mengapa kader lembaga lebih banyak menghakimi “apa tujuan pertanyaannya” daripada memahami dan menjawab isi pertanyaannya itu sendiri Mengapa pula lebih sibuk menghisab niat dari amal-amal yang sebenarnya secara hukum adalah mubah?
Maka, saran saya lebih baik kita fokus untuk menghisab, mengkategorisasikan dan memprioritaskan amal sesuai taklifinya, yaitu apakah amal itu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sangat memprioritaskan yang wajib, menganjurkan yang sunnah, membolehkan yang mubah, menjauhi yang makruh dan melarang yang haram. Bukan sebaliknya.
Wallahu a’lam.
Baca juga:
- Persahabatan yang Bertepuk Sebelah Tangan (Part 2)
- Pimpinan Laksana Tuhan
- Larangan Infaq 10% dan Porsi Infaq Seharusnya
- Mengapa Neo-NII bukanlah jama’ah Islam, apalagi Jama’ah yang Haq!
- Adakah Jama’atul Muslimin di Dunia ini saat ini?
REFERENSI
1 https://rumaysho.com/10317-menilai-orang-dari-lahiriyah-lalu-hatinya.html
2 Hadits shahih riwayat Bukhari no. 4300, atau no. 4668 di Fathul Bari.
3 Hadits shahih riwayat Bukhari no. 4004 atau no. 4351 versi Fathul Bari.
4 Hadits shahih riwayat Bukhari no. 379, atau no. 392 dan 393 pada Fathul Bari. Hadits dengan redaksi yang mirip juga terdapat di HR Muslim no. 29-33.
5 Hadits shahih riwayat Bukhari no. 3935.
6 Hadits Shahih riwayat Abu Daud no 2272, diakses melalui aplikasi Ensiklopedi Hadits.
7 Lihat Syarh Shahih Muslim, non 2:90-91, disadur dari rumaysho.com
8 Disadur dari khutbah Ust Oemar Mita, https://www.youtube.com/watch?v=YGhLDnKlFSo
Seluruh hadits diakses melalui aplikasi android ‘Ensiklopedi Hadits’
Support Da’wah dan Kontak Kami di:
6 Comments