Di lembaga Neo-NII, ada suatu praktek yang dinamakan ‘jauka’, atau kadang disamarkan dengan sebutan ‘konsul’ atau ‘konsultasi’. Kata ‘jauka’ sendiri berasal dari surat An Nisa ayat 64:65 yang menjadi dalil utama untuk jauka ini, yaitu:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang."
"Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
‘Jauka’ disebutkan di ayat 64 di atas, yang berarti ‘datang kepadamu’.
Proses jauka ini dilakukan jika seorang umat melakukan suatu dosa, maka umat itu harus berjauka (datang, menghadap) kepada ‘Rasul’, di mana ‘rasul’ ini diartikan pimpinan. Umat menghadap pimpinan lalu melaporkan dosa-dosa yang dia lakukan, baik dosa besar maupun kecil. Jika dosa tersebut tergolong kecil, maka umat dibimbing untuk cukup mengucapkan istighfar dan memohon ampun kepada Allah. Pimpinan pun lalu berdoa dan memohon kepada Allah agar mengampuni dosa umat tersebut.
Baca juga: Istilah Rasul yang Mengacu kepada Selain Rasulullah ﷺ Adalah Istilah Baru yang Menyesatkan
Kalimat ‘niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang’ dijadikan dasar bahwa jauka ini adalah satu-satunya jalan agar dosa itu diampuni oleh Allah. Akhirnya, umat di lembaga difahamkan bahwa dosa apapun tidak bisa dihapus tanpa jauka. Dan, jika seorang umat sudah berjauka atas dosanya, maka umat tersebut boleh merasa lega karena dia merasa bahwa Allah pasti mengampuninya, walaupun umat tersebut tidak ada rasa menyesal dan ingin taubat sama sekali.
Untuk mengklasifikasikan orang beriman atau tidak pun berdasarkan ayat 65nya, yaitu jika seseorang belum menjadikan pimpinan lembaga sebagai hakim, maka dia tidak dianggap beriman. Ciri-ciri keimanan lainnya adalah tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan pimpinan. Jika ada rasa keberatan, maka tidak beriman. Ciri-ciri umat yang ‘bersih’ tanpa penyakit adalah umat yang menceritakan seluruh dosa dan aibnya di hadapan pimpinan tanpa ada yang ditutup-tutupi sama sekali. Jika ada sedikit saja bagian kehidupan seorang umat yang ditutupi, maka dianggap sebagai potensi penyakit kemunafikan.
Baca juga: Tafsir yang Lebih Tepat Mengenai Rasul
Pembukaan aib ini bisa menjadi hal yang tragis, yaitu harga diri seorang muslim yang terinjak-injak di berbagai forum. Mengapa itu bisa terjadi? Dosa dan aib umat yang telah terlaporkan seluruhnya tercatat secara digital oleh tahkim. Dalam forum-forum rapat antar pembina, dosa dan aib umat akan dibahas untuk dicari solusinya. Dosa dan aib umat ini juga dijadikan parameter apakah seseorang itu pantas diangkat menjadi pengurus. Namun, cukup sering dosa dan aib umat dibongkar habis-hab\\san di dalam forum pembinaan. Dan yang paling kasihan adalah orang-orang yang dianggap sudah tidak loyal pada lembaga, maka aib-aibnya akan disebar ke anggota lembaga yang lain sebagai alasan bahwa orang-orang tersebut keluar karena kesalahan mereka, bukan kesalahan lembaga.
Sebenarnya, yang terkena dampak buruk bukan orang yang dibuka aib-nya, melainkan para pendengar aib itu, beserta yang menyebar aib itu sendiri. Karena sama saja menyebar penyakit. Dalam Al-Qur’an, disebutkan bahwa menggunjing aib seorang mu’min bagai memakan bangkai saudara mereka sendiri. Dari sini, kita bisa melihat bahwa tidak ada proteksi privasi maupun penjagaan harga diri seorang muslim dalam lembaga.
Sayangnya, lembaga tidak memiliki framework untuk bagaimana mensucikan jiwa secara sistematis, terutama bagi umat yang sudah terlanjur kecanduan dengan kebiasaan lamanya. Yang ada hanyalah kebijakan konsul dan sanksi. Sehingga perbuatan dosa akan cenderung kumat lagi dan kumat lagi. Orang yang datang berjauka ya masalahnya itu lagi itu lagi sampai pimpinan atau tahkimnya bosan sendiri. Seharusnya, perilaku dosa ini dapat diberikan treatment-treatment sunnah bagaimana agar seseorang bisa berhenti dari dosa yang sama tanpa harus ditarik uangnya.
Baca juga: Tercampur baurnya hak Allah, hak pimpinan dan hak umat.
Baca juga: Lembaga menarik pungutan dari umat yang memiliki dosa tertentu
Support Da’wah dan Kontak Kami di:
7 Comments