Metodologi untuk Memahami Suatu Kata dalam Al-Qur’an (1)
Penafsiran Al-Qur’an yang paling baik terjadi pada masa Rasulullah ﷺ dan para shahabat. Pada masa ideal ini, umat Islam memahami Al-Qur’an berdasarkan tiga hal, yaitu: penjelasan Rasulullah ﷺ, kaidah-kaidah bahasa Arab, dan akal dalam batas-batas kemampuannya. Kemerosotan terjadi ketika: (1) kemampuan bahasa Arab umat melemah sehingga Al-Qur’an ditafsirkan tidak sesuai lagi dengan kaidah bahasa Arab; (2) sebagian umat membebaskan akal dalam memahami Al-Qur’an tanpa mengenal batas-batas kemampuan akal; (3) sebagian umat mengadopsi berbagai konsep rusak dari filsafat Yunani, lalu menggunakannya untuk menafsirkan Al-Qur’an1.
Oleh karena itu, berikut ini pokok-pokok metodologi tafsir yang disadur dari Kitab At-Taisir fi Ushul At-Tafsir:
- Menjadikan bahasa Arab sebagai penafsir Al-Qur’an.
Tidak mungkin seseorang memahami al-Qur’an dengan benar tanpa memahami bahasa Arab. Sebab Al-Qur’an telah diturunkan dalam bahasa Arab (QS 12:2, 16:103, 43:3)2. Prosedur pemaknaan Al-Qur’an dengan bahasa Arab adalah sebagai berikut.
- Suatu ayat hendaknya lebih dulu ditafsirkan menurut haqiqah syar’iyah, yaitu makna hakiki menurut syar’i. Misalkan kata shalat (QS 2:34) harus ditafsirkan secara syar’i sebagai shalat yang dicontohkan Rasulullah ﷺ, meski makna asal shalat secara bahasa adalah ad-du`a (doa).
- Jika tidak ada makna syar’i-nya, hendaklah ayat ditafsirkan menurut haqiqah ‘urfiyah, yaitu makna hakiki menurut kebiasan orang Arab berbicara.
- Jika makna haqiqah ‘urfiyah juga tak ada, maka ayat ditafsirkan menurut haqiqah lughawiyah, yaitu makna hakiki sebagai makna asal bahasa. Misalkan firman Allah ﷻ:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang berkaki empat dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).” (QS 35:28).
Pada ayat ini, kata an-nas diartikan sebagai Adam as. dan keturunannya (haqiqah lughawiyah), kata al-an’am diartikan onta, sapi, dan domba (haqiqah lughawiyah). Tapi kata ad-dawab diartikan binatang yang berkaki empat (haqiqah ‘urfiyah), tidak diartikan “binatang yang melata di bumi” (haqiqah lughawiyah). Sebab haqiqah ‘urfiyah menurut bahasa Arab harus didahulukan daripada haqiqah lughawiyah3.
- Jika suatu ayat tidak dapat ditafsirkan dalam ketiga makna hakikinya mengikuti tertib di atas, ia diartikan menurut makna majazinya. Makna majazi adalah makna sekunder, setelah makna primernya (yaitu makna hakiki) tidak dapat digunakan dalam pengertian aslinya. Misal kata wajhun dalam ayat yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika (QS 55:27). Kata wajhun tidaklah tepat jika diartikan dalam makna hakikinya (wajah) : “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu.” Sebab tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. (QS Al-Syura : 11). Maka kata wajah itu hendaklah dialihkan menuju makna majazinya, yaitu dzat, sehingga makna ayat menjadi : “Dan tetap kekal dzat Tuhanmu.”4
- Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui isytiqaq, yaitu proses derivasi berbagai kata yang berasal dari sebuah akar kata. Misalkan kata rahmah, rahiim, dan rahmaan, yang berasal dari kata rahima. Proses isytiqaq menurut wazan (pola baku pembentukan kata) dalam bahasa Arab meski melahirkan banyak kata, namun memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata rahmaan (QS Al-Isra` : 110), artinya adalah kasih sayang yang banyak (al-katsir ar-rahmah), yang masih satu makna secara umum dengan akar katanya, yakni rahima (mengasihi/menyayangi)5.
- Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui ta’rib, yaitu proses arabisasi suatu kata yang berasal dari bahasa non Arab sesuai dengan wazan bahasa Arab. Misalkan kata sundus dan istabraq (QS 96:21) yang berasal dari bahasa Nabatean (an-nabathiyah). Kedua kata itu dapat diberi makna oleh orang Arab mengikuti makna aslinya dari bahasa yang non Arab, yaitu sundus berarti sutera halus sedang istabraq berarti sutera kasar6.
Referensi:
1 Syaikh Atha’ Abu Rasytah, “At-taisir fi ushul At-Tafsir”, Beirut: Darul Ummah, 2006.
2 Ibid, hal 22.
3 Ibid, hal 33.
4 Ibid, hal 27-28.
5 Ibid, hal 33.
6 Ibid, hal 33.
BACA JUGA:
Sholat Tidak Penting, yang Penting Infaq
Bukan untuk Menyembunyikan Pemimpin, Tapi untuk Menyembunyikan Strateginya
Inkonsisten! Kafir? Fasik? Murtad? Muslim yang bukan mu’min? Mu’min yang bukan Muslim?
Kalau Suatu Saat Lembaga mengaku Rabb/Malik/Ilah, Saya Sudah Nggak Kaget Lagi
Support Da’wah dan Kontak Kami di:
2 Comments