Diin bukan Negara, dan Tidak Selalu Berarti Kekuasaan
Dalam berbagai bahasa, ada yang disebut homophone, homonym, dan homograf. Homophone adalah kata-kata yang dilafalkan sama namun tulisan dan artinya dapat berbeda-beda. Homonym adalah kata-kata yang memiliki lafal dan tulisan yang sama, namun maknanya bisa berbeda-beda. Sedangkan homograf adalah kata dengan tulisan yang sama namun memiliki lafal dan makna yang berbeda. Oleh karena itu, dalam berbagai bahasa, satu kata yang memiliki makna berbeda-beda itu dapat difahami sesuai konteksnya.
Satu kata memang dapat memiliki banyak arti, namun satu arti tidak bisa berlaku untuk semua kasus kalimat, tergantung konteksnya. Contoh, dalam bahasa Indonesia terdapat kata ‘bisa’, yang dapat bermakna ‘mampu’ atau ‘racun ular’. Kata ‘bisa’ memang dapat berarti ‘racun ular’, namun apa jadinya jika arti tersebut diterapkan di seluruh kalimat yang menggunakan kata ‘bisa’? Kalimat “Apakah kamu bisa makan?” jadi berarti “Apakah kamu racun ular makan?” (apakah ada racun ular di makananmu?) . Kalimat “Saya bisa menang” jadi berarti “saya racun menang”. Jadi sangat aneh dan kacau.
Contoh lainnya adalah kata ‘mine’ dalam bahasa Inggris. Ini adalah kata sederhana yang dapat berarti ‘punyaku’ atau ‘tambang’. Jika semua kata ‘mine’ diartikan ‘tambang’ di seluruh kasus kalimat tanpa memperhatikan konteksnya, maka akan sama kacaunya dengan contoh bahasa Indonesia tadi. Coba perhatikan kalimat ini: “Yes, that pencil is mine” jadi berarti “Ya pensil itu adalah tambang”, padahal seharusnya artinya “Ya pensil itu punyaku”. Juga coba kalimat ini: “She is an old friend of mine” yang seharusnya berarti “Dia adalah teman lamaku” jadi berarti “Dia adalah teman lama dari tambang”.
Jadi, sebuah arti kata dapat diketahui melalui konteksnya. Satu arti tidak bisa berlaku untuk seluruh kalimat. Prinsip ini juga berlaku dalam memahami الدِّيْنُ.
الدِّيْنُ dapat berarti kekuasaan, ketundukan, undang-undang atau pembalasan. Selain الدِّيْنُ sendiri tidak berarti negara (telah dijelaskan sebelumnya), الدِّيْنُ yang berarti kekuasaan juga tidak bisa diterapkan di seluruh kalimat pada ayat-ayat al Qur’an. Contohnya berikut ini:
[10:105] “Hadapkanlah wajahmu kepada diin dengan tulus dan ikhlas dan jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang musyrik.”
Jika ayat di atas diartikan “hadapkanlah wajahmu kepada kekuasaan/negara dengan tulus dan ikhlas”. Bagaimana mungkin Allah memerintahkan kita menghadapkan wajah kepada negara?
[2:132] “Allah telah memilih diin ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”
Jika ayat di atas diartikan “Allah telah memilih negara ini untukmu”, negara yang manakah yang Allah maksudkan? Apakah saat Nabi Muhammad mendapatkan wahyu, Allah memberikan negara kepada Nabi Muhammad?
[15:35] “dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari Kiamat.”
Ayat di atas tidak mungkin diartikan “kutukan itu tetap menimpamu sampai hari negara”. Dalam pembinaan pernah kata ‘yaumuddin’ diartikan ‘hari tegaknya negara Islam’. Tapi, bukankah ini malah menyesatkan aqidah kita dari Yaumul Akhir di Akhirat yang sebenarnya? Jika Yaumul Hisab dan Yaumul Akhir adalah hari tegaknya negara, tentu salah satu rukun Iman kita gugur.
Nabi ﷺ bersabda saat ditanya oleh malaikat Jibril mengenai iman:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Engkau beriman kepada (1) Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab-kitabNya, (4) para Rasul-Nya, (5) hari akhir, dan beriman kepada (6) takdir, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.”[1]
[29:65] “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa mengikhlaskan diin kepada-Nya, tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”
Ayat di atas juga tidak mungkin diartikan “mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa mengikhlaskan negara kepadaNya”. Apakah mungkin saat kita mendapat bencana, kita mengingat negara? Tentunya, kata الدِّيْنُ di sini berarti ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Saat hampir tenggelam, mereka berdoa berusaha memurnikan ketundukan mereka kepada Allah.
Jadi, الدِّيْنُ memiliki beberapa arti tergantung konteksnya. Dari mayoritas (75%) ayat-ayat Al Quran, الدِّينُ lebih banyak berarti peraturan dari Allah, dan ketundukkan kepada peraturan Allah (Lihat Lampiran A). Bukan peraturan yang dibuat dari lembaga makhluq Allah dan ketundukkan kepada lembaga yang didirikan oleh makhluq Allah. Karena inti dari الدِّينُ adalah tauhidullah, mengesakan Allah.
Oleh karena itu hendaklah lebih sering menafsirkan الدِّينُ sebagai peraturan Allah yang tertinggi, dan ketundukkan kepada Allah dan Rasulullah ﷺ sebagai prioritas.
REFERENSI:
[1] HR Muslim no. 8 versi Syarh Shahih Muslim, diakses dari Aplikasi Ensiklopedi hadits.
BACA JUGA:
Sholat Tidak Penting, yang Penting Infaq
Bukan untuk Menyembunyikan Pemimpin, Tapi untuk Menyembunyikan Strateginya
Inkonsisten! Kafir? Fasik? Murtad? Muslim yang bukan mu’min? Mu’min yang bukan Muslim?
Kalau Suatu Saat Lembaga mengaku Rabb/Malik/Ilah, Saya Sudah Nggak Kaget Lagi
Support Da’wah dan Kontak Kami di: